Hari
ini, aku duduk di warung kopi dekat rumahku untuk menghilangkan rasa penat. Ini
adalah hari kelima aku berada di kampung halaman—selebihnya di kota, tempatku
menuntut ilmu. Skripsi yang sedang kususun membuat lambungku selalu menaikkan
gasnya sampai ke kepala—sehingga aku butuh menyegarkan sedikit pikiran ke
kampung halamanku yang asri ini.
Sekitar
tiga tahun yang lalu kampung ini amat sepi. Tak banyak warung-warung seperti
sekarang ini—yang berjejer di pinggir-pingggir jalan. Kebanyakan warga lebih
memilih berada di rumah ketimbang ngumpul-ngumpul
di warung kopi untuk ngerumpi atau
nonton bersama masa itu. Hal itu sangat berbeda dengan masa sekarang—di mana
orang sering membuang penat dan berkumpul bersama di warung kopi atau cafe.
Seperti
warung kopi yang tak pernah absen kutongkrong beberapa hari ini, banyak sekali
pengunjung yang datang hanya sekadar untuk ngumpul-ngumpul bersama teman-teman.
Bukan hanya para laki-laki saja yang demikian, melainkan juga para
wanita—khususnya ibu-ibu.
Yang
kulihat, warung kopi atau tempat tongkrongan lainnya terkadang menjadi wadah
mengumpulkan dosa. Seperti tempat ternyaman bagi mulut-mulut yang tak segan
mengatur kata penuh harum neraka. Bahkan, kebiasaan itu menjadi hal yang candu.
Dan mungkin akan sakau bila tak terlaksana.
Seperti
di warung kopi ini, pertama sekali aku duduk—sambil membrowsing dengan laptop, karena kebetulan di sini ada wifi—sering
kudengar para pengunjung menggunjing sana-sani. Itulah pekerjaan yang tak
pernah jenuh-jenuh mereka lakukan setiap harinya. Anjani, seorang mahasiswi
yang tiga hari ini ada di kampung menjadi buah bibir yang tak pernah basi diungkit.
Dia adalah bunga yang harumnya mengandung bahan penyedap bagi cerita para
pengumpat.
“Aku
dengar, dia bukan hanya mahasiswi, lho!” Seorang Ibu yang agak gemuk berkata.
“Dia juga berkerja di kota sana. Kabar-kabarnya sih ... dia berkerja di diskotik
gitu.” tambahnya. Dia yang duduk bersama tiga ibu-ibu lainnya—sedang santai
sambil makan gorengan di meja di depanku—memasang aksi mulut cela menanggapi
hal itu.
“Ijah,
memang kamu tahu diskotik itu apa?” tanya salah seorang Ibu lainnya. Bu Ijah
tak menjawab. Dia terlihat bingung. “Apa diskotik itu tempat untuk menonton
film seperti layar tancap?”
“Hei!
Apa kamu sebodoh itu tak tahu diskotik, Maryam?” cela Bu Ijah. “Diskotik itu
tempat perkumpulan para wanita malam. Aku yakin, si Anjani itu sudah tak
perawan lagi!” Beliau berkata seolah bumi dan langit pun tak mampu membantah.
Aku
mendeham. Mereka melihat ke arahku. Kacamataku kubaguskan dan kemudian aku mengetik.
Mereka pun mengumpat kembali. Dan lagi-lagi Anjani masih menjadi aktris
umpatan. “Aku melihat, si Anjani sering muntah-muntah di rumahnya. Kurasa dia
hamil!” cibir Bu Maryam.
Pandangan
mereka merekah. “Ah, yang betul?” Bu Ijah tersenyum sinis. “Kurasa ini gosip
yang sangat hangat. Kamu ingat kisah Ibunya Anjani dulu?” Bu Maryam dan dua
lainnya menyernyit. “Kabarnya ... Anjani adalah anak di luar nikah,” bisik Bu
Ijah. “Memang benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
Tiba-tiba
Anjani dengan lesu datang. Bu Ijah dan Ibu-Ibu lainnya terdiam. Mereka menyorot
dengan sangat sinis. Aku melirik kepada Anjani yang amat cantik. Dia adalah
teman sekelasku ketika SD. Kami bahkan pernah pacaran ketika itu—cinta monyet.
Kami sering berkirim-kirim surat—walau rumah kami tidak berjauhan.
“Bu,
beli pisang goreng lima ribu.” kata Anjani sambil duduk. Dia melihatku, aku tersenyum.
Dia membalas senyumku dengan lembut.
Tiba-tiba
seorang laki-laki paruh baya duduk di sampingnya. “Hei Anjani, apa kuliahmu
sudah selesai?” katanya bernada ejek. “Aku dengar ... kuliahmu tak jadi tamat,
ya? Kamu tertipu dengan janji manis duda kaya yang....”
“Apa?”
ulang Bu Ijah tak mau ketinggalan gosip. “Duda kaya? Janji manis? Apa maksudnya
itu?”
Aku
melongo. Kutatap Anjani yang hampir menangis dengan sendu. Kututup laptopku.
Kulihat suasana semakin keruh. Anjani tak dapat menahan tangis. Dia bahkan
beberapa kali memuntahkan isi perut yang membuat para pengunjung meringis
jijik. “Kau hamil anak duda kaya itu Anjani? Lalu kau ditinggalkannya?” Bu Ijah
menggali informasi dengan mendesak. Anjani terisak. Kata-kata pembelaannya tak
terdengar sepatah pun.
“Kau
pembawa sial, Anjani!” ketus Bu Maryam. “Kau bisa membuat Tuhan marah! Dan
hasilnya, seluruh warga akan gagal panen!”
Aku
menerobosi mereka yang sedang mengepung Anjani. “Kalian tidak lihat apa, kalau
Anjani sedang sekarat?!” belaku membentak. “Dia baru saja muntah-muntah! Kenapa
tak ada satu pun di antara kalian yang menanyakan apakah dia sakit?!!” Saat aku
hendak menanyakan apakah dia sakit, tiba-tiba Anjani pingsan. Semua panik.
Salah
satu di antara mereka berlari ke rumah Anjani. Beberapa saat setelah itu, Bu Susi,
ibu Anjani, datang. Dia meraung-raung memeluk tubuh Anjani yang terkulai di
lantai. Bu Tika, pemilik warung, mengusap-ngusapkan minyak kayu putih di hidung
Anjani dan menyuruh agar yang lainnya tidak mengerumuni Anjani.
Hampir
setengah jam kami menunggu, Anjani tak sadar juga. Pak Kasim, suami Bu Tika
bergegas memanggil dokter. Dan ketika dokter memeriksa, semua mulut menganga.
“Mohon semuanya dapat memaafkan kesalahan Almarhumah.” Ucapan dokter tersebut
membuat Bu Susi pingsan.
“Anjani
tidak hamil. Dia menderita penyakit lambung kronis. Saya sudah menganjurkannya
untuk berobat lebih serius. Tapi, Anjani menolak! Katanya, keluarganya tak
punya biaya.” Dokter menegaskan.
Bu
Ijah dan beberapa Ibu-Ibu lainnya mengemis-ngemis maaf di jasad Anjani. Aku
terperangah. Anjani, wanita yang sangat kucintai selama ini telah tiada. Dia
meninggal di hadapanku. Aku tak berkutik untuk tersadar. Ini sungguh seperti
mimpi. Aku melihat dia menjadi aktris umpatan dan aku melihatnya terkulai lepas
dari nyawanya.
Tamat