BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tujuan
instruksional merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan dalam sistem
pendidikan, secara nasional tujuan pendidikan tercantum dalam pembukaan Undang
undang dasar 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Gambaran tentang ciri
ciri kedewasaan yang perlu dikembangkan pada anak didik dapat ditemukan dalam
penentuan perumusan mengenai tujuan pendidikan, baik pada taraf nasional maupun
taraf pengelolaan institusi pendidikan.
Perumusan suatu
tujuan pendidikan yang menetapkan hasil yang harus diperoleh siswa selama
belajar, dijabarkan atas pengetahuan dan pemahaman, keterampilan, sikap dan
nilai yang telah menjadi milik mahasiswa. Adanya tujuan tertentu memberikan
arah pada usaha para pengelola pendidikan dalam berbagai taraf pelaksanaan.
Dengan demikian usaha mereka menjadi tidak sia sia karena bekerja secara
profesional dengan berpedoman pada patokan yang jelas.
Menurut Winkel
W.S (2004) berkaitan dengan penentuan tujuan pendidikan perlu dibedakan antara
pengelolaan pendidikan pada taraf (1) Organisasi makro dimana sistem pendidikan
sekolah pada taraf nasional, dengan penjabarannya dalam jenjang jenjang dan
jenis jenis pendidikan sekola, yang semuanya harus menuju ke pencapaian tujuan
pendidikan nasional sesuai dengan progam pendidikan masing masing; (2) Organisasi
meso dimana pengaturan progam pendidikan di sekolah tertentu sesuai dengan ciri
ciri khas jenjang tertentu dan jenis pendidikan yang di kelola sekolah itu; (3)
Organisasi mikro dimana perencanaan dan pelaksanaan suatu proses belajar
mengajar tertentu di dalam kelas yang diperuntukkan kelompok siswa tertentu.
Tujuan
instruksional ternyata masuk ke dalam organisasi mikro karena mencakup kesatuan
bidang studi tertentu yang menjadi pokok bahasan seperti tercantum pada bagan
hubungan hierarkis antara berbagai tujuan pendidikan sekolah.
B.
Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk
membahas tentang tujuan pembelajaran/instruksional secara keseluruhan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk
membahas tujuan instruksional.
b. Untuk
membahas taksonomi tujuan kognitif.
c. Untuk
membahas taksonomi tujuan psikomotorik.
d. Untuk
membahas taksonomi tujuan afektif.
e. Untuk
membahas integrasi tujuan kognitif dan afektif dalam pembelajaran.
C.
Manfaat
- Bagi
instansi pendidikanDapat menambah referensi kepustakaan yang menjadi rujukan mahasiswa kebidanan pendidik dalam mendalami teori belajar dan mengajar.
- Bagi
mahasiswaDapat di jadikan acuan dalam mempelajari teori belajar mengajar untuk memperluas wawasan ketika melakukan praktek mengajar.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tujuan
pembelajaran/instruksional
Menurut
Robert F. Magner (1962) tujuan
instruksional sebagai tujuan perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat
dikerjakan oleh siswa sesuai kompetensi. Sementara Eduard L.
Dejnozka dan David E. Kavel (1981) yang mendefinisikan tujuan instruksional
adalah suatu pernyataan spefisik yang dinyatakan dalam bentuk perilaku yang
diwujudkan dalam bentuk tulisan yang menggambarkan hasil belajar yang diharapkan
serta Fred Percival dan Henry Ellington (1984) menambahkan definisi tujuan
instruksional adalah suatu pernyataan yang jelas menunjukkan penampilan/keterampilan
yang diharapkan sebagai hasil dari proses belajar.
Setelah memperhatikan
beberapa definisi tujuan instruksional yang dikemukakan dari beberapa tokoh maka
dapat disimpulkan,
Dengan tujuan instruksional :
(1) kita dapat menentukan tujuan proses
belajar mengajar;
(2) menentukan persyaratan awal
instruksional;
(3) merancang strategi
instruksional;
(4) memilih media pembelajaran;
(5) menyusun instrumen tes sebagai
evaluasi belajar;
(6) melakukan tindakan perbaikan
pembelajaran.
Dalam proses
belajar mengajar tujuan instruksional dapat di bagi menjadi 2 yaitu : 1. Tujuan instruksional umum (TIU) : yang menggariskan hasil-hasil di aneka
bidang studi yang harus dicapai siswa.
Tujuan instruksional khusus (TIK) : yang merupakan penjabaran dari tujuan instruksional umum yang menyangkut suatu pokok bahasan sebagai tujuan pengajaran yang konkrit dan spesifik.
Tujuan instruksional khusus (TIK) : yang merupakan penjabaran dari tujuan instruksional umum yang menyangkut suatu pokok bahasan sebagai tujuan pengajaran yang konkrit dan spesifik.
Penyusunan ini
biasanya disesuaikan dengan tujuan instruksional yang jelas, terukur dan dapat
diamati menjadi semakin penting untuk dapat menentukan suatu proses belajar mencapai tujuan atau
tidak. Perumusan tujuan yang terkesan kabur, seperti “menghayati proses
persalinan” atau “memahami kontruksi panggul wanita” tidak lagi dianggap cukup,
sebab rumusan ini menjadi tegas seperti menyatakan perilaku atau “performance” apa yang diharapkan dari hasil
belajar.
Merumuskan tujuan
instruksional secara tepat dapat dilihat dari Buku Desain Instruksional, Bab
III (Alwi Suparman, 1993),
Tujuan Instruksional dirumuskan menggunakan cara sebagai berikut :
Tujuan Instruksional dirumuskan menggunakan cara sebagai berikut :
1. Menyebutkan “pelaku (audience),
dalam ruang lingkup pendidikan tinggi adalah peserta didik (mahasiswa).
2. Menyebutkan
kompetensi atau perilaku akhir yang diharapkan dapat dilakukan peserta didik,
dengan menggunakan kata kerja yang operasional.
Contoh :
a. Pada
akhir mata kuliah mahasiswa akan dapat menjelaskan peranan bidan pelaksana dalam kehidupan sehari-hari.
b. Pada
akhir mata kuliah peserta didik dapat membuatkan proposal penelitian
Sering kali
pengajar merumuskan tujuan instruksional yang menggunakan ketrampilan atau
kemampuan berpikir yang rendah, seperti kemampuan mengingat (recall). Contoh tujuan instruksional
yang rendah dengan menyebutkan definisi saja, sedangkan tujuan instruksional
yang tinggi “menjelaskan hubungan kualitas pembelajaran, tingkat pelayanan dan kecerdasan
emosional mahasiswa dengan tingkat kepuasan mahasiswa terhadap perguruan
tinggi”.
Berdasarkan
pernyataan di atas seorang pengajar perlu memahami berbagai taksonomi tujuan
yang bersifat kognitif dan psikomotor dibanding dengan afektif.
Pada penyelesaian studinya seorang peserta didik akan mengalami perubahan
perilaku bukan saja pada kognitif tetapi juga afektifnya. Salah satu sebab
kenapa lebih cepat pencapaian kognitifnya, karena memang pengukuran kognitif
lebih mudah dibanding mengukur afektifnya. Sebagai contoh kemampuan mahasiswa
disuatu perguran tinggi menjelaskan mengenai hubungan industrial Pancasila,
tetapi Belem menjamin orang yang bersangkutan tersebut memiliki nilai yang akan
konsisten dipraktekkan.
Oleh sebab itu
setiap pengajar harus memiliki berbagai taksonomi yang luas guna mendukung tujuan
instruksional. Dengan demikian setiap pengajar dapat memilih mana pelajaran
yang akan diasuhnya dengan kegiatan instruksional yang dirancangnya. Taksonomi pada dasarnya merupakan usaha pengelompokan
yang disusun dan diurut berdasarkan ciri-ciri tertentu.
Sebagai contoh, taksonomi bidang ilmu asuhan kebidanan menghasilkan pengelompokan
asuhan kebidanan pada ibu hamil (ANC), asuhan kebidanan pada ibu bersalin (INC),
asuhan kebidanan pada ibu nifas (PNC), asuhan kebidanan pada bayi baru lahir
(BBL), dan asuhan pada ibu asuhan akseptor KB. Taksonomi dalam bidang ilmu
botani pengelompokan tumbuhan berdasarkan karakteristik tertentu, misalnya
kelompok tumbuhan bersel satu dan tumbuhan bersel banyak.
Toksonomi dan Tujuan Instruksional diperlukan
dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Perlu
adanya kejelasan adanya terminologi yang digunakan dalam tujuan instruksional
sebab tujuan instruksional berfungsi untuk memberikan arah kepada proses belajar dan menentukan
perilaku yang dianggap sebagai bukti belajar.
b. Sebagai
alat yang akan membantu pengajar dalam mendeskripsikan dan penyusunan tes,
penilaian dan evaluasi.
B.
Kawasan
tujuan intruksional
Kawasan tujuan instruksional membagi tujuan pendidikan dan instruksional kedalam tiga kelompok tujuan, yaitu :
Kawasan tujuan instruksional membagi tujuan pendidikan dan instruksional kedalam tiga kelompok tujuan, yaitu :
a.
Kognitif
Tujuan
kognitif berorientasi pada kemampuan “berfikir”, mencakup kemampuan intelectual
yang lebih sederhana, yaitu “mengingat”, sampai dengan kemampuan untuk
memecahkan suatu masalah (problem solving)
yang menurut siswa dapat memecahkan masalah tersebut. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya bahwa tujuan kognitif ini
paling sering digunakan dalam proses instruksional.
b.
Afektif
Tujuan
afektif yang berhubungan dengan “perasaan”, “emosi”, “system nilai” dan “sikap
hati” (attitude) yang menunjukan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu.
Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhana, yaitu “memperhatikan suatu
fenomena” sampai dengan yang kompleks yang merupakan factor internal seseorang,
seperti kepribadian dan hati nurani. Dalam literatura tujuan afektif disebutkan sebagai : minat, sikap hati , sikap
menghargai, sistem nilai, serta kecenderungan emosi
c.
Psikomotor
Tujuan
psikomotorik berorientasi kepada ketrampilan motorik yang berhubungan dengan
anggota tubuh, atau tindakan (action)
yang memerlukan koordinasi antar syaraf
dan otot. Dalam literatur tujuan ini
tidak banyak ditentukan penjelasannya, dan
biasanya dihubungkan dengan “latihan menulis”, berbicara, berolahraga, serta
matakuliah yang berhubungan dengan
ketrampilan tekhnis.
C.
Taksonomi
Tujuan Kognitif
Taksonomi Bloom
sangat dikenal di Indonesia, bahkan tampaknya paling terkenal dibandingkan
dengan taksonomi lainnya. Taksonomi Bloom melakukan pengelompokan tujuan
kognitif kedalam enam kategori. Ke enam kategori itu mencakup kompetensi
keterampilan intelektual dari yang sederhana (tingkat pengetahuan) sampai
dengan yang paling kompleks tingkat evaluasi).
Ke enam kategori diasumsikan bersifat hierarkis, yang berarti tujuan pada level yang tinggi dapat dicapai hanya apabila tujuan pada level yang lebih rendah telah dikuasai.
Ke enam kategori diasumsikan bersifat hierarkis, yang berarti tujuan pada level yang tinggi dapat dicapai hanya apabila tujuan pada level yang lebih rendah telah dikuasai.
Pengetahuan/pengenalan ( knowledge)
Tujuan
instruksional pada level ini menurut mahasiswa untuk mampu mengingat (recall)
informasi yang telah diterima sebelumnya, seperti: fakta, terminology, rumus,
strategi, pemecahan masalah, dan sebagainya.
2.
Pemahaman
(comprehension)
Tujuan
pada kategori ini berhubungan dengan kemampuan untuk menjelaskan
pengetahuan/informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Dalam hal
ini mahasiswa diharapkan untuk menerjemahkan atau menyebutkan kembali yang
telah didengar dengan kata-kata sendiri.
Kata
kerja yang diperoleh harus operasional dengan pengetahuan bahwa kompetensi dan
perilaku tersebut dapat diukur unjuk kerjanya. Hal ini penting untuk
menunjukkan apakah tujuan instruksional yang ditetapkan dapat tercapai atau
tidak pada akhir perkuliahan.
3.
Penerapan
(application)
Penerapan
merupakan kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah
dipelajari ke dalam situasi atau konteks yang lain atau yang baru. Sebagai
contoh, menyusun kuesioner penelitian untuk penulisan skripsi merupakan
penerapan prinsip-prinsip penyusunan instrument penelitian yang sebelumnya
telah dipelajari mahasiswa dalam mata kuliah metode penelitian.
4.
Analisa
(analysis)
Analisis
merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan
komponen-komponen atau elemen suatu fakta konsep, pendapat, asumsi, hipotesa,
atau kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada
tidaknya kontradiksi. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan
hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut
dengan standar, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari. Sebagai contoh,
pembuatan kritik suatu karya literature atau seni merupakan analisis. Tugas
seperti ini memerlukan kemampuan analisis sebab menuntut mahasiswa untuk
membuat tanggapan terhadap berbagai aspek, seperti tema, plot, derajat realism,
dan sebagainya, serta melihat hubungan di antara aspek-aspek tersebut.
5.
Sintesa
(synthesis)
Tujuan
instruksional level ini menuntut mahasiswa untuk mampu mengkombinasikan bagian
atau elemen ke dalam satu kesatuan atau struktur yang lebih besar. Menulis
essay tentang “Perwujudan Bhineka Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia”
merupakan contoh sintesis. Dalam hal ini mahasiswa harus melihat berbagai aspek
sosial, budaya, dan ekonomi dalam kelompok etnik, misalnya sistem kekerabatan,
system keagamaan, dan sebagainya, dan kemudian membandingkan perwujudan
berbagai aspek tersebut dan membuat kesimpulan.
6.
Evaluasi
(evaluation)
Tujuan
ini merupakan yang paling tinggi tingkatnya, yang mengharapkan mahasiswa mampu
membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk
atau benda dengan menggunakan kriteria tertentu. Sebagai contoh, kemampuan
mengevaluasi suatu program video apakah memenuhi syarat sebagai program
istruksional yang baik atau tidak, merupakan tingkat evaluasi. Dalam hal ini
mahasiswa harus mempertimbangkan dari segi isi, strategi presentasi, budaya,
karakteristik pengguna, dan sebagainya. Di samping itu kriteria program yang
baik harus terlebih dahulu jelas bagi mahasiswa.
D. Taksonomi Tujuan Psikomotorik
Tujuan
istruksional kawasan psikomotor dikembangkan oleh Harrow(1972). Taksonomi
Harrow ini juga menyusun tujuan psikomotor secara hirarki dalam lima tingkat, mencakup
tingkat meniru sebagai yang paling sederhana dan naturalisasi sebagai yang
paling kompleks:
1. Meniru (imitation)
Tujuan
instruksional pada tingkat ini
mengharapkan mahasiswa untuk dapat meniru suatu perilaku yang dilihatnya.
2. Manipulasi (manipulate)
Pada
tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan
contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat, seimbang, dan akurat. Contoh kata kerja yang diguanakan sama dengan untuk kemampuan meniru.
3. Ketetapan gerakan (preccision)
Pada
tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan contoh
visual maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat,
seimbang, dan akurat.
4. Artikulasi (articulation)
Pada
tingkat ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan serangkaian gerakan dengan
akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat.
5. Naturalisasi (naturalization)
Pada
tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan gerakan gerakan tertentu secara
spontan atau otomatis. Mahasiswa melakukan gerakan tersebut tanpa berfikir lagi
cara melakukannya dan urutannya.
E. Taksonomi Tujuan Afektif
Bagian ini akan
membahas tentang taksonomi tujuan
afektif. Taksonomi afektif paling terkenal
dikembangkan oleh Krathwohl, dkk.
Pada dasarnya Krathwohl berusaha mengembangkan taksonomi ini kedalam lima
tingkat perilaku.
Krathwohl, Bloom
dan Marsia (1964) mengembangkan taksonomi tujuan yang berorientasikan kepada
perasaan atau afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses seseorang dalam
mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang menjadi pedoman
baginya dalam bertingkah laku. Krathwohl mengelompokkan tujuan afektif ke dalam
5 kelompok antara lain:
1.
Pengenalan (receiving)
2.
Pemberian respon (responding)
3.
Penghargaan terhadap nilai (valuing)
4.
Pengorganisasian (organization)
5.
Pengamalan (characterization)
Pengelompokan
ini juga bersifat hierarkhis, dengan pengenalan sebagai tingkat yang paling rendah
(sederhana) dan pengamalan sebagai tingkat tinggi. Makin tinggi tingkat tujuan
dalam hierarkhi semakin besar pula
keterklibatan dan komitmen seseorang terhadap tujuan tersebut.
1.
Pengenalan/Penerimaan (receiving)
Tujuan
instruksional kelompok ini mengharapkan mahasiswa untuk mengenal, bersedia
menerima dan memperhatikan berbagai stimulus. Dalam hal ini mahasiswa masih
bersikap pasif, sekedar mendengarkan atau memperhatikan saja.
Contoh
kata kerja operasional:
a. Mendengarkan.
b. Menghadiri,
melihat, memperhatikan.
2.
Pemberian respon (responding)
Keinginan
untuk berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda, atau system
nilai, lebih daripada sekedar pengenalan saja. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan
untuk menunjukkan perilaku yang diminta, misalnya berpartisipasi, patuh, atau
memberikan tanggapan secara sukarela bila diminta.
3.
Penghargaan terhadap nilai (valuing)
Penghargaan
terhadap suatu nilai merupakan perasaan, keyakinan, atau anggapan bahwa suatu
gagasan, benda atau cara berfikir tertentu mempunyai nilai (worth). Dalam hal ini mahasiswa secara
konsisten berperilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun tidak ada pihak lain
yang meminta, atau mengharuskan. Nilai dan value ini dapat saja dipelajari dari
orang lain, misalnya dosen, teman, atau keluarga
4.
Pengorganisasian (organization)
Pengorganisasian
menunjukkan saling berhubungan antara nilai-nilai tertentu dalam suatu system
nilai, serta menentukan nilai mana yang mempunyai prioritas lebih tinggi
daripada nilai yang lain. Dalam hal ini mahasiswa menjadi commited terhadap suatu sistem nilai. Dia diharapkan untuk
mengorganisasikan berbagai nilai yang dipilihnya ke dalam satu system nilai,
dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai tersebut.
5.
Pengamalan (characterization)
Pengamalan
berhubungan dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai ke dalam
suatu sistem nilai pribadi. Hal ini diperlihatkan melalui perilaku yang
konsisten dengan ssstem nilai tersebut. Pada tingkat ini mahasiswa bukan saja
bukan
saja telah mencapai perilaku-perilaku pada tingkat yang lebihrendah, tetapi
telahmengintegrasikan nilai-nilai tersebut kedalam suatu filsafat hidup yang lengkap
dan meyakinkan dan perilakunya konsisten dengan filsafat hidup tersebut. Filsafat
hidup tersebut merupakan bagian dan karakter.
Dari
contoh-contoh tujuan afektif ini terlihat bahwa pada tingkat-tingkat yang
tinggi (valuing, organization dan characterization) perilaku merupakan
indikator tercapainya tujuan-tujuan tersebut terlihat overlapping dan tidak dapat dipisahkan secara tegas. Ini
menunjukkan bahwa meskipun secara konsepsual tingkat-tingkat tersebut dapat
dipisahkan dan nampaknya memiliki hubungan hierarchies, perumusan tujuan tidak
dapat dibedakan dengan jelas. Hal inilah yang membuat tujuan afektif menjadi
sulit dievaluasi apakah tercapai atau tidak.
F.
Integrasi
Tujuan Kognitif dan Afektif dalam Pembelajaran
Sebagaimana
disebutkan dibagian pendahuluan dalam proses pembelajaran terjadi interaksi
antara unsur kognitif dan afektif dalam diri peserta didik. Sikap apriori
terhadap suatu konsep atau prosedur kerja dapat menjadi hambatan bagi
tercapainya tujuan kognitif. Sebaliknya untuk mengubah suatu sikap atau
mengadopsi suatu nilai, peserta didik memerlukan pemahaman yang sifatnya
kognitif. Dalam proses pembelajaran tertentu aspek kognitif atau afektif
merupakan dua sisi mata uang yang perlu ada.
Dengan demikian
dalam proses pembelajaran tertentu aspek kogintif ini secara terencana berusaha
untuk mencapainya. Berbeda dengan tujuan kognitif, tujuan afektif lebih sulit
dievaluasi. Salah satu sebabnya adalah bahwa untuk mencapai tujuan afektif
memerlukan waktu lama. Sebagai contoh, “menjadi seoarang bidan yang memiliki
kredibitas tinggi” jelas tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat.
Untuk
tingkat-tingkat yang lebih sederhana, seperti :
mengenal atau memberi respon, pencapainya, mungkin tidak memerlukan
waktu yang lama dan dengan cepat dapat diketahui tercapai atau tidak.
Diantara kawasan tujuan pendidikan yang paling
banyak mendapatkan perhatian pada jenjang pendidikan tinggi adalah kawasan
kognitif. Didalam kawasan kognitif yang paling penting adalah jenjang
analisis, sintesis dan evaluasi
karena sangat dibutuhkan dalam memecahkan masalah.
Kemampuan memecahkan masalah ini dikuasai bila
peserta didik memiliki strategi kognitif yang baik. Oleh sebab itu dalam bab
selanjutnya akan dibahas mengenai strategi kognitif dan bagaimana cara
pengajaran yang tepat dapat ditumbuhkan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Tujuan
instruksional dikelompokan dalam tiga kawasan : kognitif, psikomotor dan
afektif.
2. Terdapat
salah konsep (misconception) tujuan instruksional yang mengatakan bahwa dalam
perumusan tujuan, kompetensi yang sederhana kurang penting dibandingkan setiap
kawasan (domain) dapat secara tegas dipisahkan dari yang lain. Padahal
kenyataan menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran tiga domain tersebut
berinteraksi dalam pencapaian pembelajaran.
3. Tujuan
kognitif dapat disusun berdasarkan Taxonomy Bloom, Gagne, Merill atau Gerlach
dan Sulvilvan.
4. Tujuan
psikomotor dapat disusun menurut Harrow yang membagi kompetensi ke dalam 5
tingkatan yang bersifat hierarkhis.
5. Tujuan
afektif dapat disusun berdasarkan taxonomy menurut Krathwohl, Marsia dan
Briggs.
6. Mengingat
bahwa pada kenyataanya terjadi interaksi antara factor kognitif, afektif dan
psikomotor dalam pembelajaran, jika relevan dalam penyusunan tujuan
instruksional pengintegrasian jenis-jenis tujuan tersebut dapat dilakukan.
7. Dengan
pengintegrasiaan beberapa tujuan instruksional sehingga dapat meningkatkan
kemampuan dosen didalam menyusun satuan acara perkuliahan.
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak
kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, kami senantiasa menerima saran dan kritik
yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto, J. (2005). Taxonomi Untuk Tujuan Instruksional Digunakan Untuk Penyusunan SAP
(Satuan Acara Perkuliahan). Jurnal: Forum Ilmiah Indonesia 2(3):11-19.
Suparman A. (1993). Desain Instruksional. Jakarta: Pusat Antar Universitas (PPAI).